Intermezzo Empat Khalifah
Kisah perjalanan empat khalifah yang masyhur dengan julukan khulafaur-rasyidinmerupakan
satu fase perjalanan sejarah yang sepantasnya menjadi cermin dari frame work
kerja dan perjuangan kita saat ini.
Abu Bakr Ashshiddiq
ra, ‘Umar bin Khaththab ra, Utsman bin Affan ra, dan Ali bin Abi Thalib ra,
ialah empat mutiara islam hasil sepuhan langsung tangan Rasulullah
shalallahu’alaihiwassalam. Empat karakter mutiara ini telah Allah tetapkan
untuk memimpin empat fase kekhalifahan yang berbeda, uniknya perbedaan ini
telah diatur betul oleh Allah subhanallahuta’ala sehingga mix-match dengan
masing-masing pribadi.
Mari kita singgah
sekejap pada perlayaran singkat Abu Bakr Ashshidiq;
Masa kekhalifan orang
terdekat Rasulullah ini hanya berjalan dua tahun tiga bulan, tapi sesungguhnya
warisan penting dari waktu singkat tersebut ialah penjagaan mabda’ (prinsip
dasar) ajaran islam dan menjadikannya sebagai sesuatu yang tidak bisa
ditawar-tawar.
Hal ini terlihat dari
tiga hal penting yang menjadi concern utama sang Khalifah, yaitu:
1.
Pemberantasan para murtad
2.
Pemberantasan para nabi palsu di Yaman, seperti Musailamah dan Thulaihah
Al-Assady
3.
Memerangi para muslim yang enggan membayar zakat
Paska wafatnya
Rasulullah sebagian bangsa Arab menyatakan terang-terangan bahwa mereka murtad
disamping ada pula yang tetap islam namun menolak membayar zakat. Inilah masa
transisi yang sulit setelah sosok panutan tidak lagi ada di tengah-tengah
mereka. Menjadi catatan penting untuk kita dewasa ini, bahwa boleh-boleh saja
terinspirasi dari siapa pun, tapi ingat lah bahwa jasad itu tidak utuh, ada pun
esensi dari content kebaikan itulah yang sejati. Maka jangan semata-mata
figuritas yang membuat kita kukuh, lalu ketika ia hilang kita pun loyo.
Dan masa transisi ini
harus dilewati Abu Bakr dengan tegas., sebagaimana akhirnya beliau melancarkan
perang terhadap para murtad dalam peristiwa habrur-riddah dengan
memberangkatkan 12 kompi dalam satu hari. Setegas itu pula sikap Abu Bakr
ketika menghadapi para pembangkang yang masih minta-minta kompromi dalam
perkara zakat. Hingga terjadi pertempuran tak imbang antara pasukan Abu Bakr
yang sedikit dan pasukan pembangkang yang banyak. Namun atas izin Allah
terhadap keteguhan semangat Abu Bakr untuk mempertahankan prinsip dasar islam,
pasukan mukmin menang telak dalam pertempuran dahsyat tersebut.
Inilah cermin
berpikir yang jauh dan dalam. Walau pun sebagian ulama pada saat itu termasuk
Umar pada awalnya tidak sepakat dengan sikap Abu Bakr untuk memerangi
pembangkang karena keislaman mereka, namun Abu Bakr tetap dengan pendiriannya.
Sikap ini adalah bentuk konsistensi memelihara fikrah islam demi pewarisan yang
benar terhadap generasi selanjutnya. Ia utamakan keutuhan ajaran islam yang
sempurna, daripada memelihara keutuhan kuantitas kaum muslimin dan negera namun
tanpa fikrah islam yang utuh. Coba bayangkan seandainya saat itu Abu Bakr
bertoleransi soal zakat? Barangkali saat ini kita jadi punya alasan untuk
menjadikan zakat sebagai kisah harmoni masa lalu saja, tanpa pengamalan. Semoga
Allah memberkahi keteguhan Abu Bakr.
Saat Abu Bakr
merasakan ajalnya kian dekat, ia memanggil para sahabat untuk bermusyawarah
perihal rencananya untuk mengangkat ‘Umar bin Khaththab sebagai khalifah
selanjutnya. Banyak para sahabat yang tidak sepakat dengan pengangkatan Umar,
namun setelah Abdurrahman bin ‘Auf menyampaikan tanggapannya bahwa, “kami tidak
mengenal engkau (Abu Bakr) kecuali menginginkan yang terbaik, dan engkau tetap
sebagai orang yang baik dan suka memperbaiki!” Barulah para sahabat tersadar.
Setelah Abu Bakr
mantap betul dengan kerelaan orang muslim terhadap Umar, Abu Bakr membai’at
Umar di hadapan kaum muslimin. Setelah peneguhan janji itu, Abu Bakr berwasiat
pada Umar, sebagai berikut:
“Sesungguhnya aku
mengangkatmu sebagai khalifah sepeninggalku. Hendaklah engkau BERTAQWA KEPADA
ALLAH. Sesungguhnya Allah mempunyai amal malam hari yang tidak Dia terima pada
siang hari dan amal siang hari yang tidak Dia terima pada malam hari. Dia tidak
menerima ibadah sunnah sampai ibadah fardhu dijalankan. Bila engkau memelihara
wasiat ini, maka tidak ada KEGAIBAN yang lebih engkau cintai selain KEMATIAN,
sedang ia akan menimpamu. Dan jika engkau mengabaikan pesanku, maka tidak ada
kegaiban yang lebih engkau benci selain kematian itu sendiri. Dan aku tidaklah
mengalahkan Allah.”
Tak ada salahnya,
jika wasiat ini turut kita jadikan pegangan, meski terkhusus Abu Bakr berikan
pada Umar. Terlebih saat dakwah memasuki era menuju B3SAR ini. sebagaimana Abu
Bakr paham betul, soal strategi bernegara, taktik politik, dll, tak perlu
diwasiatkan, karena ia akan muncul dengan alaminya, namun PESAN KETAQWAAN,
itulah sebaik-baiknya wasiat. Segala macam jalan kemudahan bernegara bagi Abu
Bakr hanya dapat muncul dengan satu modal dasar, yaitu taqwal-quluub¸taqwa
kepada Allah subhanallahuta’ala.
Menjelang
kematiannya, Abu Bakr menghadapi sakratul maut didampingi putri tercintanya,
A’isyah ra, persis seperti yang dilalui oleh sahabat terkasihnya, Rasulullah
shalallahu’alaihiwassalam. Saat A’isyah mendendangkan satu buah sya’ir, Abu
Bakr dengan ruhul-qur’an nya justru melantunkan sepenggal ayat ke 19 dari surah
Qaaf;
“Dan datanglah
sakratul-maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya.”
Kemudian melayanglah
ruh Mujahid sejati ini, sedang tutur terakhirnya adalah:
“Ya Rabbi, matikanlah
aku dalam keadaan muslim dan pertemukanlah aku dengan orang-orang shalih.”
Berakhirlah hidup Abu
Bakr di pentas dunia nan fana ini, sementara satu amalnya, kata Rasulullah shalallahu’alaihiwassalam,
tak mampu menyamai amal seluruh kalian. Hingga Umar nan gagah pun menetes air
mata beningnya, seraya berucap:
“Wahai Abu Bakar,
engkau telah menjadikah khalifah sesudah engkau susah untuk menirumu!”
Sesungguhnya
Rasulullah shalallahu’alahiwassalam telah berhasil membawa masyarakat islam ke
puncak keluhuran melampaui manusia biasa. Jika ada pepatah yang mengatakan
bahwa pahlawan adalah mereka yang berhasil melampaui kemampuan dirinya, maka
ialah Rasulullah yang telah berhasil mencetak pahlawan-pahlawan islam yang
sanggup berjuang hingga bahkan kering titis darah mereka.
Pada intermezzo kali
ini, mari kita sejenak bernostalgia pada kejayaan ‘Umar bin Khaththab
ra.
Dialah ‘Umar bin
Khaththab yang tubuhnya besar kekar, yang kekuatan fisiknya mampu mengalahkan
20 puluh orang dewasa saat ini, yang juga suara berat berwibawanya berpadu
dengan kecerdasan pikirnya.
Kehadiran ‘Umar dalam
kancah sejarah islam telah melejitkan fase dakwah dari sirriyah menjadi
terang-terangan. Atas izin Allah pula lah, kekhalifahan yang dipimpin oleh
‘Umar setelahnya mampu mendobrak ekspansi terluas sepanjang sejarah dengan
rentang waktu 10 tahun 6 bulan 8 hari saja.
‘Umar bin Khaththab
telah diangkat oleh Abu Bakr Ashshiddiq ra sebagai khalifah dengan cara
tariqul-ahad, yaitu memilih sendiri penggantinya setelah mendengarkan pendapat
yang lain, dan lalu membai’atnya di depan umum. Beberapa ulama berpendapat,
bahwa cara ini dipilih karena Abu Bakr ingin menghindari perpecahan dalam tubuh
ummat jika mereka memilih sendiri, persis seperti yang sempat terjadi pada
masanya.
Sepanjang masa
kekahalifahannya, ‘Umar berhasil memunculkan berbagai macam peristiwa
spektakuler dan mencengangkan sejarah. Tak heran lagi, jika concern utama
panglima sejati ini adalah PENAKLUKAN dan PERLUASAN.
Banyak pihak yang
menklaim ‘Umar sebagai “tukang perang”, padahal ianya sendiri sangat membenci
perang jika bukan untuk pembelaan dan perlindungan terhadap agama dan wilayah
islam. Uniknya pertahanan atau penaklukan ini justru berujung pada perluasan
wilayah. Inilah hebatnya ‘Umar, STRATEGIS!
Tercatat kurang lebih
44 penaklukan yang berhasil dimenangkan di bawah kepemimpinan ‘Umar, meliputi
jazirah Arab, Syiria, Mesir, sebagian besar Persia, termasuk pula pembukaan
Baitul Maqdis. Bahkan Damaskus telah ditaklukan ‘Umar pada tahun pertama
kekhalifahannya, melanjutkan perjuangan yang sempat dilakukan di masa Abu Bakr.
Begitu juga dengan Baitul Maqdis, kota ini dikepung selama empat bulan oleh
pasukan muslim yang dipimpin oleh ‘Amru bin Ash, sebelum akhirnya dapat
ditaklukkan dengan syarat Khalifah Umar bin Khattab sendiri yang menerima
“kunci kota” itu dari Uskup Agung Sefronius, karena kekhawatiran mereka
terhadap pasukan Muslim yang akan menghancurkan gereja-gereja.
Adapun dalam strategi
militer, ‘Umar berhasil menemukan sistem militer yang belum pernah dilakukan
oleh siapapun sebelumnya, yang mana ‘Umar membagi pasukan besarnya menjadi
batalion-batalion yang lebih kecil, sesuai dengan isi surat ‘Umar kepada
Sa’ad bin Abi Waqash;
“Jika engkau sudah
menerima suratku ini maka pecahlah pasukanmu menjadi satuan-saatuan yang lebih
kecil. Jelaskan kepada mereka tentang tindakan itu, angkatlah pemimpin untuk
tiap-tiap pasukan, berilah perintah pemimpin-pemimpin itu di depan semua
pasukan, hormati mereka di depan anak buah mereka, dan serahkan panji-panji
pasukan pada prajurit yang paling cepat memacu kudanya.”
Uniknya, keluhuran
hati dan kebijaksanaan ‘Umar membuat para musuh pada akhirnya kagum dan percaya
dengannya, ini disebabkan oleh semua penaklukan ‘Umar justru memberikan dampak
positif pada wilayah tersebut. Maka tak heran, pada masa ‘Umar, orang
berbondong-bondong masuk islam tanpa paksaan. Inilah memang yang menjadi misi
‘Umar, penakulukan untuk menegakkan keadilan, serta menggenapi pewaris negeri
dengan keislaman.
Di balik pribadi
‘Umar yang terkenal tegas dan keras, sesungguhnya ‘Umar sendiri juga merupakan
sosok yang sangat penyayang dan melankolis. Seringkali ‘Umar menangis karena
takut pada Allah subhanallahuta’ala. Bahkan ‘Umar adalah pemimpin yang tak
pernah segan-segan turun langsung untuk meminta nasehat dari rakyatnya.
‘Umar jugalah yang
terkenal sebagai pemimpin tukang ronda, menginspeksi langsung keadaan
rakyatnya, bahkan tanpa satu orang pengawal pun. Ini seperti kisah yang
dituturkan oleh Auza'iy, yang pada satu malam 'memergoki' Khalifah Umar masuk
rumah seseorang. Ketika keesokan harinya Auza'iy datang ke rumah itu, ternyata
penghuninya seorang janda tua yang buta dan sedang menderita sakit. Janda itu
mengatakan, bahwa tiap malam ada orang yang datang ke rumah mengirim makanan
dan obat-obatan. Tetapi janda tua itu tidak pernah tahu siapa orang tersebut.
Padahal orang yang mengunjunginya tiap malam tersebut tidak lain adalah
khalifah yang sangat ia kagumi selama ini.
Subhanallah…
mudah-mudahan Allah memuliakan ‘Umar..
Masih panjang daftar
kebajikan serta keberanian yang telah dilakukan ‘Umar bin Khaththab. Sampai
akhirnya sang panglima ini syahid di saat akan mengimami sholat shubuh oleh
tikaman Abu Lukluk, yang konon menaruh dendam terhadap kekalahan Persia serta
kebijakan-kebijakan ‘Umar.
Sebelum menutup kisah
ini, ada cuplikan menarik tentang percakapan ‘Umar dengan Salman Alfarisi ra;
‘Umar: apakah aku ini
raja atau khilafah?
Salman menjawab, jika
engkau memungut satu dirham, lebih sedikit atau lebih banyak, dari tanah kaum
muslimin. Lalu engkau menggunakannya bukan pada haknya, berarti engkau seorang
RAJA, dan bukan KHALIFAH.
Lalu meneteslah air
mata bening di tubuh tegap gagah itu.. Air mata tanda takut pada Rabb-nya..
Wallahua’lam.